Seringkali kita sadar kita mempunyai kebiasaan buruk, semisal,
menunda-nunda pekerjaan, mengkritik orang tanpa berpikir panjang, makan atau
tidur berlebihan, dan sebagainya. Kemudian kita ingin memperbaiki keburukan
tersebut dengan mencanangkan resolusi perubahan diri. Kita menumbuhkan kemauan
dan tekad untuk berubah. Tetapi seringkali tekad saja tidak cukup. Kita harus
menggunakan banyak usaha dan tenaga untuk membentuk perilaku baru, karena pada
saat yang sama perilaku lama menarik kita tetap pada kebiasaan-kebiasaan lama.
Perubahan itu terasa amat sulit pada awalnya. Mungkin kita harus mengorbankan
"kebebasan" kita untuk melakukan hal-hal yang kita sukai sampai
kebiasaan baru terbentuk dengan kuat dan keinginan kita untuk kembali kekebiasaan
lama berkurang. Hal ini sama halnya dengan pesawat yang lepas landas. Terasa
sulit di awal, karena masih besarnya pengaruh gravitasi, tetapi ketika sudah
mengudara, semuanya menjadi lebih mudah.
Penting sekali kita perhatikan ada tiga kekuatan besar yang
membuat kita terpaku pada kebiasaan-kebiasaan lama, yaitu:
1--Hasrat dan nafsu.
Kita semua kadang-kadang mengalah pada hasrat - keinginan dan
kebutuhan badaniah (misal, makan, minum, tidur). Banyak orang menjadi budak dan
pecandu makanan dan minuman. Perut mengontrol pikiran dan badan. Dan ini penuh
dengan resiko. Di saat kita menjadi berlebih-lebihan, kita menjadi kurang peka
terhadap kebutuhan orang lain. Kita mudah menjadi marah pada diri sendiri dan
menimpakan kemarahan itu pada orang lain, kadang-kadang hanya disebabkan oleh
hal-hal sepele. Maka dari itu, apabila kita dikendalikan oleh hasrat dan nafsu,
kita pasti mempunyai masalah dalam berhubungan dengan orang lain.
2--Kesombongan dan kepura-puraan.
Kalau kita tidak mampu menerima diri kita sendiri, kita
menggunakan cermin sosial untuk memperoleh identitas dan jati diri kita. Dengan
demikian, konsep diri berasal dari apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang
kita. Maka, kita pun menngatur hidup kita menurut harapan orang lain. Semakin
kita hidup menurut harapan orang lain, semakin kita tidak bisa menerima diri
kita sendiri dan berpura-pura. Padahal harapan selalu beurbah-ubah. Dan sewaktu
kita terus bersandiwara menuruti kecongkakan dan kesombongan, kita menipu diri
sendiri, dan karena merasa terancam, kita terus berjuang mempertahankan citra
palsu itu.
3--Keinginan dan ambisi
Apabila kita dibutakan oleh ambisi, kita minta dipahami terlebih
dahulu dan berusaha mendapatkan kemuliaan, jabatan, kekuasaan, dan kenaikan
pangkat, bukannya memandang waktu, bakat dan harta milik sebagai karunia yang
harus kita pertanggung jawabkan. Orang-orang yang berambisi itu sangat
possesif. Mereka menaksir segala sesuatu berdasarkan pada manfaat bagi dirinya.
Setiap orang menjadi pesaing. Hubungan mereka - bahkan yang intim dan dekat -
cenderung bersifat persaingan. Mereka memakai berbagai cara manipulatif untuk
mencapai tujuan mereka.
TIGA RESOLUSI UNIVERSAL
Setelah mengetahui kekuatan-kekuatan yang menghambat kemajuan
diri, maka selanjutnya kita harus berlatih untuk mengatasi hamabat-hambatan
tersebut. Mau tidak mau kita harus menjalani peperangan pribadi dan memenangkan
diri sendiri. Dan, kita semua memiliki kesempatan untuk memenangkan peperangan
publik kita di dalam pikiran kita sebelum perang itu benar-benar menjadi
kenyataan. Atasi itu dalam pikiran terlebih dahulu. Kita bisa mengatasi ambisi,
egoisme, kecenderungan negatif, ketidaksabaran, kemarahan, kebiasaan
menunda-nunda dan rasa tidak bertanggung jawab. Lawanlah hal-hal ini dan
menangkan peperangan dengan gagah sebelum kita melakukannya dalam kenyataan.
Kita bisa mengatasi kekuatan-kekuatan penghambat tersebut di atas dengan
membuat dan memenuhi tiga resolusi universal berikut.
1--Resolusi pertama: untuk mengatasi kekuatan penghambat berupa
selera dan nafsu, saya memutuskan untuk menjalankan disiplin diri dan
penyangkalan diri. Ketika kita terlalu mengumbar selera dan nafsu badani, kita
merusak proses mental dan penilaian kita dan juga hubungan sosial kita. Tubuh
merupakan ekosistem dan apabila sisi ekonomis atau fisik kita tidak berimbang,
semua sistem lain akan terpengaruh. Itulah alasan mengapa kebiasaan untuk
memperbaharui diri (ingat kebiasaan ke tujuh: mengasah gergaji) demikian
mendasar. Prinsip-prinsip penguasaan diri, konsistensi, dan disiplin diri
menjadi daar seluruh kehidupan seseorang. Mengumbar nafsu merugikan perhitungan
dan kearifan kita. Saya sadar bahwa banyak orang yang tidak mengendalikan diri
namun tetap menunjukkan kebesaran dan kejeniusannya. Tetapi, dengan berjalannya
waktu sikap tersebut akan mengalahkan orang itu. Lihatlah, banyak orang
terkenal dan kaya telah kehilangan kekayaan dan keyakinan, keberhasilan dan
keefektifan dirinya karena tidak bisa mengendalikan diri. Contoh lain, tentang
kesehatan. Memelihara kesehatan membutuhkan lebih dari sekedar sikap bijak.
Semakin tua kita semakin berada di persimbangan arus antara kebutuhan akan
disiplin serta pengekangan diri dan keinginan untuk bebas bersantai melepaskan
kendali. Kita mungkin merasa telah melakukan segala kewajiban dan berhak untuk
bebas. Namun, bila kita menjadi permisif dan menuruti diri kita snediri,
kualitas kehidupan dan kerja propfesional kita akan terkena akibat buruknya.
2--Resolusi kedua: untuk mengatasi kekuatan penghambat berupa
kesombongan dan kepalsuan, saya memutuskan untuk memperbaiki karakter dan
kecakapan. Apabila kita menuruti selera dan nafsu, kita dapat dengan mudah
tergoda oleh kesombongan dan kepalsuan. Kita kemudian mulai berpura-pura,
bersandiwara
dan menguasai teknik-teknik manipulasi. Apabila definisi konsep
diri kita merupakan hasil dari anggapan orang lain pada kita - dari cermin
sosial - kita akan menjalankan hidup ini dengan keingan dan harapan mereka.
Semkain kita menjalani hidup untuk memenuhi harapan orang lain, semakin kita
lemah, dangkal dan tak aman. Seorang eksekutif muda, misalnya, ingin
menyenangkan atasannya, rekan kerja dan bawahannya, namun dia mendapatkan bahwa
kelompok-kelompok orang ini menuntut hal-hal berbeda-beda darinya. Maka dia
mulai bersandiwara dan berpua-pura agar dapat diterima bergaul atau terhindar,
untuk menyenangkan atau menenangkan. Dalam jangka panjang dia mendapatkan bahwa
dalam usahanya menjadi "segalanya bagi orang lain", pada akhirnya dia
menjadi bukan apa-apa bagi setiap orang. Akhirnya diketahuilah apa dan siapa
dirinya. Dia kehilangan harga diri dan tidak dihargai oleh orang lain. Memang
kita harus menaruh perhatian pad apendapat dan persepsi orang lain sehingga
kita dapat lebih efektif dengan mereka, akan tetapi kita harus menganggap
pendapat mereka bukanlah suatu kenyataan yang harus kita tindaki atau tanggapi.
Apabila kita amati kemarahan, kebencian, kecemburuan, keirihatian, kesombongan,
dan prasangka atau emosi dan nafsu negatif lain, maka hal itu seringkali
disebabkan karena kita ingin diterima dan digargai oleh orang lain. Karena itu,
anda harus hidup selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip utama anda.
Anda dapat berterus terang, jujur danbertindak langsung. Dan tidak ada yang
lebih mengganggu bagi orang-orang yang licik dan bermuka dua daripada kejujuran
yang tak ditutup-tutupi.
3--Resolusi ketiga: untuk mengatasi kekuatan penghambat berupa keinginan
dan ambisi yang tidak dapat dikekang, saya memutuskan untuk membaktikan
bakat-bakat dan ketrampilan-ketrampilan saya bagi tujuan-tujuan mulia dan untuk
melayani sesama. Jika orang berusaha menjadi nomor satu dan mencari keuntungan
sendiri, mereka tidak akan menghayati makna pelayanan. Mereka mungkin berbicara
mengenai pelayanan, tetapi mereka akan selalu berusaha untuk menonjolkan
kepentingan mereka sendiri. Mereka mungkin berdedikasi dan bekerja keras,
tetapi tidak berfokus pada pelayanan. Mereka hanya berfokus pada kekuasaan,
kekayaan, ketenaran, posisi, dominasi dan harta benda. Orang yang ber-etika
memandang setiap transaksi ekonomi sebagai sesuatu ujian terhadap pelayanan
moralnya, Itulah sebabnya, kerendahan hati merupakan induk dari semua
kebajikan. Sebab kerendahan hati mendorong pelayanan. Sebelum orang memilki
semangat pelayanan, mereka mungkin akan berkata bahwa mereka menyukai apa yang
emreka lakukan, namun mereka membenci kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan
hal itu. Ini adalah sikap mendua, yaitu memiliki motif yang saling bertentangan
yang membawa kita pada peperangan dengan diri kita sendiri. Yang lebih buruk,
seringkali peperangan kita berakibat menjadi peperangan dengan orang lain.
Maka, lawanlah sikap mendua ini dengan integritas diri. Dan, integritas dapat
kita peroleh dengan membaktikan diri kita kepada pelayanan tulus bagi orang
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar