Fariz N.
Mehdawi, Duta besar Palestina untuk Indonesia berbicara tentang hubungan
antarpenduduk Palestina. Penduduk Palestina sejatinya beragam etnis, agama dan
adatnya, Sehingga, menurut dia perjuangan kemerdekaan adalah perjuanagan sebuah bangsa-bangsa tertindas, bukan perjuangan
kelompok tertentu. Satuharapan.com mewawancarainya beberapa waktu lalu.
Satuharapan.com: Selama ini di Indonesia, kami mendapat kesan perjuangan Palestina adalah perjuangan berbasis agama. Bagaimana menurut Anda?
Fariz N. Mehdawi: Rakyat Palestina berasal dari berbagai latar belakang. Bukan hanya Arab, melainkan juga Yahudi, Kaukasia, dan sebagainya. Orang Palestina juga tidak hanya menganut Islam. Kristen juga banyak. Di Palestina, orang tidak bisa menebak agama seseorang dari namanya. Abdullah belum tentu Muslim. Isa dan Maryam belum tentu Kristen, sebab Nabi Isa dan ibunya, Maria, adalah nabi yang sangat dihormati di dunia Islam. Orang Palestina juga tidak bisa dibedakan agamanya berdasarkan model pakaian yang dikenakan.
Mungkin saja di sini kesannya
menjadi seperti itu karena perjuangan Palestina ini menarik digunakan untuk
kepentingan pencitraan kelompok-kelompok tertentu.
Satuharapan.com: Namun, kesan itu begitu kuat.
Fariz: Ya, saya akui memang saudara-saudara Muslim Indonesia
lebih ekspresif dan bersemangat dalam melakukan pembelaan terhadap perjuangan
Palestina. Tapi sebenarnya, secara nasional , Indonesia sudah mendukung
perjuangan Palestina sejak zaman Presiden Soekarno. Ini bukanlah tentang
perjuangan agama, ini perjuangan tentang bangsa yang ditindas bangsa lain.
Satuharapan.com: Apakah orang Kristen enggan mendukung
perjuangan Palestina karena alasan keagamaan juga? Dalam Alkitab disebutkan,
Israel adalah bangsa pilihan Tuhan.
Fariz: Menurut saya, jika Yesus hadir pada saat ini, Ia akan
membela Palestina. Bukankah di Alkitab disebutkan Ia selalu berpihak kepada
korban, bukan kepada penguasa? Dan, orang Kristen sejati seharusnya juga
berpihak kepada korban kesewenang-wenangan.
Saya harus menekankan kembali
bahwa perjuangan Palestina bukanlah perjuangan berbasis agama. Seperti
Indonesia yang konstitusinya disusun bukan berdasarkan agama tertentu,
Palestina, juga mengambil dasar negara sekuler yang menghormati kemanusiaan.
Jika, faktor agama merasuk dalam
perjuangan kami, itu menyebabkan kesalahpahaman. Tentu saja, tidak semua rakyat
Palestina akan terwakili dalam kehidupan bernegara. Kini, kami punya dua
walikota Kristen, Vera Baboun di Bethlehem dan Janet Mikhail di Ramallah. Ini
menunjukkan bahwa perjuangan kami bukanlah perjuangan agama, tetapi perjuangan
melawan kolonialisme.
Satuharapan.com: Bagaimana dengan hubungan antarpenduduk Palestina?
Fariz: Di
Palestina, saat Natal, orang yang datang ke sana bakal mengira penduduknya
mayoritas Kristen, sebab semua merayakan dengan meriah. Saat Idul Fitri, orang
akan mengira warga Palestina semua Muslim.
Yang menarik, di Palestina,
kekristenan bukanlah agama impor. Agama lain berasal dari luar Palestina.
Namun, kekristenan lahir di Palestina. Yesus lahir di Bethlehem, Palestina.
Banyak kejadian yang tercatat di Injil, berlatar daerah Palestina.
Bahkan, penganut-penganut Kristen
awal adalah orang-orang Palestina. Orang Kristen Palestina punya nenek moyang
yang bisa jadi adalah orang-orang yang pernah bertatap muka dengan Yesus. Jadi,
kekristenan adalah agama asli di Palestina.
Namun, lebih dari itu, perjuangan
kami adalah perjuangan sebuah bangsa yang dijajah negara lain. Kelak, saat
merdeka semua keputusan harus menjadi kesepakatan seluruh rakyat Palestina,
tanpa membeda-bedakan latar belakangnya. Kami belajar dari Indonesia.
Sumber: 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar